Sabtu, 27 September 2014

Cerpen Kimia : THEOPHYLLIN

Biochemistry Building, Mei 1995
“Dr. Martin!”
Lelaki berkacamata minus itu menghentikan langkahnya. Ia menoleh ke arah suara yang baru saja didengarnya. Wajah Rio yang muncul, tak ada senyum, tak seperti biasanya. Dr. Martin merapatkan tubuhnya lebih ke tembok. Tangga ini tak cukup lebar untuk dilewati oleh tiga orang. Ia menunggu Rio naik beberapa anak tangga untuk sampai dihadapannya. Beberapa mahasiswa yang lewat, menganggukkan kepala dan tersenyum.
“Dr. Martin, ada yang harus saya sampaikan pada Anda. Kelihatannya ada sesuatu yang janggal pada bakteri kita.”
Rio mengatur nafasnya setelah sampai di hadapan Dr. Martin. Ia memperlihatkan beberapa lembar kertas catatan.
“Saya melihat ada yang janggal pada bakteri ini dan sepertinya…”
“Kita bicara didalam saja.”
Dr. Martin beranjak mendahului Rio. Tak terlalu baik rasanya bicara di tengah jalan seperti tadi. Siang belum sempurna, jam-jam sibuk di Biochemistry Building masih akan berputar hingga tangga yang tak lebar ini makin terasa sempit ketika ada orang yang berhenti di tengahnya.
Didalam, Dr. Martin memeriksa catatan Rio. Wajahnya seketika berubah. Matanya menatap lembar-lembar catatan itu tak percaya. Mulutnya ingin berkata sesuatu tapi tubuhnya mendahului pikirannya. Ia cepat beranjak, keluar ruangan lagi dengan tergesa.
“Kita lihat bakterinya, Rio!” Rio mengikuti.
Cawan-cawan petri yang terpapar di atas meja keramik putih itu tampak bisu dari luar. Didalamnya, Nutrient Agar telah terpenuhi oleh gumpalan putih kekuningan seperti lendir yang licin. Sedikit terlihat bercak hijau pucat di pinggirnya. Komputer di samping cawan-cawan itu masih menyala, memperlihatkan sebuah grafik yang turun naik garisnya dengan data angka disampingnya. Tiba-tiba, gumpalan-gumpalan putih kekuningan di dalam cawan petri merambat. Bergerak memenuhi setiap dinding cawan hingga tertutup seluruhnya.
Pintu laboratorium terbuka dari luar. Langkah-langkah cepat dan memburu mendekati cawan-cawan di samping komputer yang masih menyala. Dua orang laki-laki itu menatapnya, kemudian salah satu dari mereka jatuh dengan memegang dada kirinya dan mencoba berteriak. Kacamata minusnya jatuh dan pecah…
“Dr. Martin!”
Ball Room, Biochemistry Building, Januari 1995
“Kami akan menciptakan bakteri yang bisa menghancurkan kafein dengan cepat. Untuk itu, kami akan membuat bakteri pemakan kafein yang bergantung pada kafein untuk menjalani kehidupan mereka. Dan jika penelitian ini berhasil, maka akan dihasilkan kopi alami tanpa kafein dan tentunya dengan rasa yang lebih nikmat.” 1)
Dr. Martin tersenyum. Antara tegang dan lega. Ia  memandangi satu per satu wajah-wajah di hadapannya. Tak banyak memang, tapi siapa yang tak percaya dibalik itu, ada banyak ide dan pemikiran-pemikiran kritis yang tak pernah puas dengan apa yang didapat. Pemikiran yang bervariasi meski pada dasarnya hanya satu: senyawa baru dan aktivitas biologinya.
Wajah-wajah di hadapan Dr. Martin saling menoleh, berbisik dan berkerut kening. Membaca ulang dan mecoretkan sesuatu pada catatannya atau hanya mengangguk-angguk dengan satu tangan menopang dagu dan pipinya.
Setelah hampir dua jam lalu ia memaparkan semua ide penelitian terbarunya. Tentang bakteri yang akan memakan kafein dari biji kopi dan daun teh. Ia tahu, ini penelitian baru, sebab selama ini tak ada yang benar-benar efektif untuk memisahkan senyawa itu dari kopi dan daun teh.
Wajah Dr. Martin bertambah cerah setelah pihak universitas memberi izin dan gemuruh tepuk tangan di akhir presentasinya cukup meriah. Ia membereskan catatannya dengan tak melepas senyum. Ketika semua peserta seminar keluar ruangan, Prof. Ali mendekatinya.
“Kau yakin akan penelitian ini?”
Dr. Martin memandang Prof. Ali heran. Lelaki itu hanya diam, masih menatap Dr. Martin dengan wajah yang sama. Tenang tapi meyakinkan.
“Kau? Ah! Kau tak percaya padaku, Prof.?”
“Bukan aku tak percaya, tapi ini bukan pekerjaan yang mudah dan cepat. Aku hanya khawatir kalau…”
“Kalau aku akan putus asa di tengah jalan jika tak juga berhasil menaklukkan makhluk-makhluk kecil itu?” Dr. Martin tertawa. Ia menutup laptopnya kemudian memandang Prof. Ali.
“Bukan begitu, tapi aku hanya ingin meyakinkan saja. Kau sudah punya tim kerja, kan?” Dr. Martin tertawa lagi kemudian mengambil cangkir yang telah kosong di hadapannya, berniat untuk menuangkan kopi lagi. Prof. Ali mencegahnya. Ia mengambil kembali cangkir itu dari tangan Dr. Martin.
“Ingat jantungmu. Kopi banyak mengandung kafein.”
“Ah! Itulah mengapa aku begitu berambisi untuk penelitian ini.” Ia tertawa lagi.
“Lebih baik, kau kuajak untuk melihat laboratoriumku. Kau masih punya waktu untukku satu jam lagi, ingat?” Dr. Martin beranjak, tak menunggu jawaban Prof. Ali yang masih diam di depan meja. Ia tahu, Prof. Ali tak akan menolaknya.
“Kau tahu, Prof., penelitian ini akan dibiayai oleh pihak fakultas atas izin universitas. Kau dengar tadi?”
Prof. Ali mengangguk-angguk mendengar Dr. Martin bercerita. Sesekali ia tersenyum saat berpapasan dengan dosen atau mahasiswa yang sama-sama melewati koridor di dalam Biochemistry Bulding ini. Hari belum terlalu siang. Laboratorium yang berjajar di samping kanan kiri koridor seperti sebuah pabrik dengan pekerja berseragam putih. Jas lab, alat-alat gelas, lemari-lemari asam, wajah-wajah ilmuwan muda. Hanya satu dua laboratorium saja yang samar-samar terdengar alunan musik dan tawa kecil. Terlalu jenuh mungkin bila bekerja dengan suasana sepi.
“Aku telah menemukan cara untuk membuat bakteri menghasilkan theophyllin dengan lebih banyak.”
“Theophyllin?” Prof. Ali menghentikan langkah sejenak dan mengerutkan kening.
“Ya, theophylline. Itu senyawa yang dihasilkan untuk merusak kafein pada tanaman kopi dan teh.” Wajah Dr. Martin lebih berbinar. Ia tahu, pasti Prof. Ali akan sedikit takjub dengan ini.
“Oh, begitu?”
“Tak terlalu sulit, Prof. Kami akan mengisolasi gen penghasil theophyllin dari bakteri. Kemudian seperti biasa, penanaman gen pada bakteri yang tak memiliki gen penghasil theophyllin itu.”
“Semacam rekayasa genetik?”
“Ya, begitulah.”
Prof. Ali menghentikan langkahnya di depan laboratorium bertuliskan Organic Laboratory di depan pintunya, sedang Dr. Martin terus berjalan.
“Hei, dimana lab-mu kini?” Dr. Martin tertawa.
“Sebelum ini, itu memang ruang kerjaku. Tapi kau tahu, Prof., bakteri hanya ada di laboratorium mikrobiologi.” Prof. Ali hanya menggeleng-gelengkan kepala.
Rio bersiul menaiki satu per satu anak tangga menuju laboratorium mikrobiologi di lantai dua Biochemistry Building. Wajahnya seperti biasa, cerah dan penuh senyum. Sedikit berbeda dari kebanyakan penghuni di fakultas ini yang rata-rata berwajah serius dan tampak lebih tua dari usia sebenarnya.
Ketika kakinya telah menapak anak tangga terakhir di lantai dua, laki-laki itu urung mengeluarkan kunci dari saku celananya. Pintu laboratorium telah terbuka. Wajahnya makin cerah ketika melihat Dr. Martin ada di dalam, bercakap-cakap dengan seorang lelaki yang tak terlalu Rio kenal di sampingorbital shaker dekat jendela.
“Pagi Dr. Martin dan…” Rio masuk dan tersenyum pada laki-laki itu kemudian meletakkan laptopnya di meja yang menghadap ke jendela, persis di samping orbital shaker yang sedang bekerja itu.
“Oh, pagi ilmuwan muda!”
Mungkin Rio akan benar-benar lupa bila Dr. Martin tidak memperkenalkan laki-laki yang bersamanya tadi. Prof. Ali, seorang pengusaha di bidang minuman ringan. Dari cerita Dr. Martin, empat tahun lalu, Prof. Ali pun pernah menjadi dosen di fakultas ini.
“Jadi Prof. Ali, kau tak perlu lagi menambahkan larutan kimia pada produk minumanmu untuk menyerap kafein.” Dr. Martin melipat tangan ke dadanya. Prof. Ali mengangguk-angguk.
Organic Laboratory, Februari 2008
“Aku yakin kemarin aku menaruhnya di sini, Kei!”
Ivanda berkacak pinggang. Sejenak ia hanya bisa menatap cawan petri yang kosong di hadapannya itu.
“Ya, aku tahu. Tapi ini benar-benar milikmu. Lihat ini!”
Kei mengambil mangkuk datar yang terbuat dari kaca tebal itu. Ia menunjukkan label kertas berkode Kf-Iv di pinggirnya.
“Ini kodemu, kan? Kafein milik Ivanda!” Ivanda mengerutkan kening. Begitu terburu-burunya ia hingga tak melihat kode kecil itu.
“Well, ya, itu memang kode yang kubuat kemarin. Tapi, kemana isinya? Oh, sudah berminggu-minggu aku menghabiskan waktu di lab ini untuk mengisolasi senyawa itu, tapi sekarang…” Ivanda meraih cawan itu dari tangan Kei dan terduduk lemas di lantai, bersandar pada pintu loker di bawah meja keramik yang memanjang. Kakinya ia selonjorkan. Sedang Kei hanya bergeleng-geleng. Ia lebih memilih menyapu permukaan meja dengan matanya.
“Dan sisanya hanya ini…” Ivanda tersentak. Tiba-tiba pandangan matanya tertuju pada cawan yang dipegangnya. Seolah ia baru saja menemukan satu hal baru pada benda itu. Gadis itu mengubah posisi duduknya -lebih tegak.
“Kei, lihat ini!” Ivanda menarik-narik ujung kemeja Kei, berharap agar laki-laki itu mau berjongkok sepertinya. Tapi, saat itu pula Kei pun mengerutkan kening setelah menyapu meja dengan matanya.
“Ivanda, lihat!”
“Apa ini, Kei?”
Gumpalan putih kekuningan meninggalkan jejak di sapanjang meja keramik. Arahnya dari loker bawah meja yang seingat Ivanda tak pernah dibuka sejak ia masuk fakultas ini. Loker yang kuncinya dipegang oleh Miss. Nora, seorang wanita paruh baya yang selalu berkilah dengan seribu satu alasan jika ada mahasiswa yang bertanya tentang loker di bawah meja ini. Tiba-tiba Kei teringat dengan kata-kata Miss Nora beberapa waktu yang lalu.
“Itu loker milik Rio dan mendiang Dr. Martin.”
“Apa? Milik Dr. Martin dan Rio? Berarti kau tahu tentang kasus bakteri yang mereka coba ciptakan?”
“Jangan tanya itu padaku! Aku tak tahu.”
“Miss Nora, kau tahu dimana Rio sekarang?”
“Dia sudah pergi jauh, setiap benda yang disentuhnya selalu mengingatkannya pada mendiang Dr. Martin dan itu membuatnya sedih.”
Gumpalan-gumpalan putih kekuningan itu terus merambat hingga Kei tak
sabar lagi untuk membukanya. Pintu loker itu telah rapuh hingga mudah ditarik dari luar. Dan alangkah terkejutnya Kei dan Ivanda ketika melihat isi di dalamnya.
Loker itu penuh dengan cawan petri berisi gumpalan putih kekuningan. Dan gumpalan-gumpalan itu telah rata menutupi dinding loker. Tak ada tempat bersisa. Kini bahkan gumpalan putih kekuningan itu perlahan merambat keluar loker setelah pintunya semakin terbuka.
“Theophyllin…” Ivanda hanya bisa mengerutkan kening ketika Kei mengeluarkan satu kata itu.
“Bakteri pemakan kafein…”
Dan Ivanda tak kuasa lagi melihatnya, ia berlari keluar. Menjauh dari laboratorium…
Foot Note:
1) Informasi ini diambil dari majalah ACID Edisi III/Tahun V/Mei 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar